Abuya Nawi Membela Maulid
Maulid menjadi menjadi media untuk mengekpresikan dan mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah Saw. Ia, sebagaimana yang dituturkan oleh Prof. Quraish Shihab, tidak melulu harus dirayakan saat bulan kelahiran sang Nabi, tetapi juga bisa setiap saat. Biasanya, maulid terangkai dari beragam kegiatan, di antaranya pembacaan sirah nabawiah, pelantunan pujian dan munajat kepada sang Rasul, ceramah agama, hingga jamuan makan bersama.
Dari sekian nilai-nilai positif yang dikandung oleh maulid, tidak sedikit juga ada yang menunjukkan sikap anti (atau bahkan membenci) terhadap kegiatan tersebut. Bagi kelompok ini, maulid dianggap sebagai ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam, bidah, dsb. Kehadiran mereka tentunya mengundang reaksi pembelaan suatu kelompok atas maulid, termasuk dari kalangan alim ulama. Sekian pembelaan kemudian dituangkan dalam karya tulis. Misykât al-Anwâr, karya Abuya K.H Abdurrahman Nawi, menjadi salah satu karangan tulis yang menyangkal tuduhan-tuduhan miring atas maulid.
Abuya Nawi, sebagaimana dalam pengantarnya, mempersembahkan kitab tersebut untuk kepentingan ahlusunah waljamaah. Harapannya, Misykât al-Anwâr bisa membawa manfaat bagi umat Islam ahlusunah waljamaah, termasuk kepada diri Abuya. Selanjutnya, Prof. K.H. Ali Yafie, dalam sambutannya, mengapresiasi kehadiran kitab Misykât al-Anwâr sebagai jawaban terhadap persoalan maulid. Dengan membaca kitab tersebut, beliau mengharapkan umat Islam tidak terombang-ambing lagi untuk mengamalkan maulid.
Lalu, apa argumen Abuya Nawi untuk membela maulid? Sebelum menyebutkan pendapat dan dukungan ulama, beliau menjelaskan arti dari bidah. Sebab, kesalahpahaman terhadap konsep bidah menjadi sekian faktor utama yang melahirkan sikap anti maulid. Karena Rasulullah Saw. tidak pernah merayakan maulid, maka hal itu dianggap bidah. Bidah merupakan sesuatu yang tertolak, sebagaimana dipahami dalam suatu hadis. Karena bidah, maka maulid otomatis menjadi tertolak. Demikian argumen singkat dari sebagian individu atau kelompok untuk menolak maulid.
Padahal kenyataannya tidak demikian. Abuya Nawi, menukil penjelasan dari kitab I’ânah al-Ṯâlibîn, menyatakan bahwa bidah tertolak yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. adalah bidah ḏâllah; yang menyalahi Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan asar. Sedangkan, jika mengandung nilai kebaikan dan tidak bertentangan dengan keempat hal itu, maka hal tersebut adalah bidah hasanah/mustahabbah (bidah yang dianjurkan). Kemudian, mengikuti penjelasan ulama terdahulu, Abuya Nawi mengklasifikasikan bidah menjadi 5; wajib, haram, sunah, mustahabbah, makruh, dan mubah. Baginya, maulid termasuk bidah mustahabbah (sesuatu yang dianjurkan untuk dikerjakan dan –menurut imam al-Sakhâwî– baru ada setelah abad ketiga).
Setelah menjelaskan konsep bidah, Abuya Nawi menyebutkan dukungan-dukungan ulama tehadap perayaan maulid. Salah satu pendapat yang Abuya kutip adalah perkataan Imam Abû Syâmah. Ulama Betawi tersebut kemudian menerjemahkan perkataannya dengan bahasa arab-melayu. Tulisannya (yang sudah ditransliterasikan ke huruf latin):
Dan setengah dari bidah hasanah, pada zaman kami, yaitu mengeluarkan sedekah, berbuat kebajikan, menzahirkan keindahan pakaian, kegembiraan pada tiap-tiap tahun di hari kelahiran Nabi Saw. dan berbuat ihsan kepada fuqârâ dan masâkîn, hal itu tiada lain hatinya didorong oleh rasa mahabah kepada Nabi Saw. takzim kepada Rasulullah Saw. di dalam hati orang-orang yang melakukannya. Dan rasa syukur kepada Allah atas anugerah-Nya dari keberadaan Rasulullah Saw. yang Allah utus dia (Muhammad) sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Sebelum menutup pembahasannya terkait maulid, Abuya menginventarisasi nama-nama habib dan ulama Indonesia yang mendukung perayaan maulid. Beberapa di antaranya: Habib Husain bin Abu Bakar Al-Aydrus Luar Batang, Habib Abu Bakar As-Seggaf Gresik, Habib Usman bin Yahya, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas Pekalongan, Habib Solih bin Muhsin Al-Hamid Tanggul, Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdullah Syafii, K.H. Syafii Hadzami, K.H. Nur Ali Bekasi, dan masih banyak lagi.
Wallahu a’lam biṣ-ṣawab.